Penetrasi Media Sosial di Suriah Pasca Assad
Pasca jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, Suriah menghadapi gelombang kembalinya pengungsi yang mencapai jutaan jiwa, tapi di balik harapan itu tersembunyi masalah besar berupa sengketa kepemilikan rumah dan properti.
Banyak pengungsi yang pulang ke tanah airnya mendapati rumah mereka sudah pindah tangan, baik dikuasai oleh pihak loyalis Assad, kelompok bersenjata, atau bahkan dijual secara ilegal selama perang sipil berlangsung. Fenomena ini menciptakan persoalan hukum yang rumit, di mana tidak ada mekanisme mediasi resmi yang kuat untuk menyelesaikannya, sehingga berpotensi memicu ketegangan sosial baru di tengah upaya rekonstruksi negara.
Menurut laporan dari Refugees International pada Juni 2025, sekitar 400.000 pengungsi telah kembali sejak Desember 2024, tapi banyak dari mereka kecewa karena properti asli mereka telah diduduki orang lain atau hancur total.
Di wilayah seperti Homs dan Damaskus, undang-undang nomor 10 tahun 2018 dari era Assad sering disalahgunakan untuk merebut tanah pengungsi, di mana pemilik asli harus membuktikan kepemilikan dalam waktu singkat yang mustahil dilakukan dari luar negeri. Akibatnya, ribuan kasus sengketa muncul, membebani pengadilan sementara dan membuat proses reintegrasi pengungsi terhambat.
Foreign Affairs dalam edisinya April 2025 menyoroti bahwa kurangnya badan mediasi resmi membuat perselisihan ini berisiko memicu konflik lebih lanjut, terutama di daerah yang mengalami rekayasa demografis selama perang.
Pengungsi yang kembali sering kali harus bernegosiasi dengan penghuni baru yang mengklaim hak atas rumah tersebut, kadang dengan ancaman kekerasan dari kelompok bersenjata sisa. Pemerintah transisi di bawah Ahmed al-Sharaa berjanji untuk membentuk komite khusus, tapi hingga September 2025, implementasinya masih lambat karena keterbatasan sumber daya.
RAND Corporation pada Februari 2025 melaporkan bahwa meskipun 125.000 pengungsi kembali sejak awal kemajuan pemberontak, sekitar 100.000 orang justru melarikan diri lagi, khususnya eks militer rejim yang terlibat kasus. Di antara alasan utama adalah ketakutan akan sengketa properti yang belum terselesaikan, di mana aset Assad yang dibekukan diusulkan untuk mendanai reparasi bagi pengungsi. Namun, sanksi internasional yang masih berlaku menghambat akses dana tersebut, meninggalkan pengungsi dalam limbo hukum yang panjang.
Di sisi lain, wilayah yang dikuasai Syrian Democratic Forces (SDF) di timur laut Suriah, seperti Raqqa dan Deir ez-Zor, juga menghadapi tantangan serupa, meskipun kasusnya lebih terkait dengan isu statelessness dan perebutan tanah antar etnis. SDF, koalisi milisi Kurdi yang didukung AS, yang didominasi YPG mengelola wilayah dengan populasi campuran Arab-Kurdi. YPG sejatinya adalah pengungsi ilegal dari Turki karena terkait PKK yang dianggap sebagai teroris di Turki.
Meski belakangan YPG/SDF sudah membesar termasuk Kurdi asli Suriah, namun kasus pengungsi Kurdi yang kembali sering bertemu dengan klaim properti dari penduduk Arab, pemilik tamah sejak Suriah merdeka dari Perancis.
Meskipun ada kasus serupa di wilayah SDF, skalanya lebih kecil dibandingkan wilayah pemerintahan Suriah, karena SDF menerapkan sistem otonomi demokratis yang lebih inklusif sejak 2015, tapi sering bersikap anti Arab. Namun, integrasi SDF ke dalam pemerintahan Suriah pada Maret 2025, seperti yang dilaporkan BBC, membuka pintu bagi sengketa baru, terutama di provinsi Raqqa di mana tanah Arab mayoritas direbut SDF selama konflik. Pengungsi Kurdi stateless, yang jumlahnya mencapai 300.000 hingga 500.000, merela berasal dari Turki dan kini menjadi kekuatan utama YPG menurut Refugees International, kesulitan membuktikan kepemilikan karena Assad tak memberikan kewarganegaraan. Benda dengan Kurdi Suriah yang dianggap warga Suriah sejak lama.
Atlantic Council pada Juni 2025 menyebutkan bahwa di kamp pengungsi Kurdi seperti Domiz di Irak, banyak yang enggan kembali ke wilayah SDF karena takut konflik dengan warga Arab pemilik tanah. Kasus serupa memang ada, tapi SDF telah membentuk komite properti untuk mediasi, meskipun efektivitasnya dipertanyakan karena pengaruh militerisme yang kuat dan pro Kurdi stateless. Hingga kini, sekitar 1,3 juta IDP telah kembali secara keseluruhan, tapi di timur laut, angka itu lebih rendah karena ketidakpastian politik.
Alasan utama mengapa kasus hukum di wilayah SDF jarang terekspos adalah karena akses media yang terbatas akibat konflik berkepanjangan dan sensor dari berbagai pihak, termasuk dari pasukan khusus Kurdi yang sering tembak langsung.
Wilayah SDF, yang menguasai sepertiga wilayah Suriah dan 70 persen ladang migas, sering menjadi zona perang antara Turki dan PKK membuat jurnalis kesulitan masuk tanpa risiko. Laporan dari Washington Institute pada 2025 menekankan bahwa Ankara memandang SDF sebagai ekstensi PKK, sehingga memblokir liputan yang positif dan mempromosikan narasi negatif melalui media Turki. SDF juga menganggap Turki sebagai penjajah sebagaimana ideologi PKK.
Pada platform sosial seperti TikTok dan X (sebelumnya Twitter), konten dari wilayah SDF jarang muncul karena pembatasan akses internet dan penyedia aplikasi yang masih mempengaruhi, meskipun sudah jatuh. Wikipedia mencatat bahwa sensor internet di Suriah Ba'athist sangat ketat di era Assad, dengan situs seperti TikTok diblokir hingga 2024, dan meskipun dibuka pasca-Assad, pengguna di wilayah SDF masih bergantung pada VPN untuk menghindari pemantauan otoritas setempat di bawah SDF. Reddit diskusi pada 2025 mengonfirmasi bahwa TikTok diblokir di Suriah, dan X memblokir nomor telepon Suriah, membuat akun baru sulit dibuat tanpa alat bypass.
Selain itu, Times of India pada 2024 melaporkan bahwa dari 2007 hingga 2011, pemerintah Assad memblokir lebih dari 200 situs termasuk X dan Facebook untuk mencegah perbedaan pendapat, dan warisan ini berlanjut di wilayah SDF di mana infrastruktur internet rusak parah akibat perang. Pengguna sosial media di sana sering menghadapi ancaman dari kelompok bersenjata, sehingga jarang memposting tentang sengketa hukum untuk menghindari pembalasan. Atlantic Council pada Mei 2025 menyebutkan bahwa pasca-Assad, warga Suriah bergantung pada Facebook untuk berita lokal, tapi di SDF, grup WhatsApp didominasi pria dan dibatasi, membatasi penyebaran informasi.
Media Landscapes menyatakan bahwa Suriah bukan lagi konteks tunggal, dengan penggunaan sosial media bervariasi per wilayah; di SDF, WhatsApp dan Facebook paling populer dengan 6 juta pengguna aktif secara nasional, tapi penetrasi Twitter hanya 136.000, dan di timur laut lebih rendah karena pemadaman internet strategis selama konflik. Reuters pada 2011 sudah memperingatkan bahwa sosial media seperti pedang bermata dua di Suriah, di mana pemerintah memata-matai pengguna, dan hal ini berlanjut di bawah SDF yang meskipun lebih bebas, masih membatasi konten sensitif untuk keamanan.
Slate pada 2012 menjelaskan mengapa perhatian sosial media terhadap Suriah rendah: akses media arus utama terbatas, dan jurnalis yang masuk sering tewas, sehingga narasi bergantung pada aktivis yang terbatas. Di era sekarang, hal serupa berlaku untuk SDF, di mana konflik dengan Turki membuat konten jarang viral di TikTok, yang lebih fokus pada hiburan daripada isu politik berat. BBC pada 2022 menemukan bahwa TikTok di kamp pengungsi Suriah dimanfaatkan untuk mengemis atau menggalang dana, tapi di SDF, konten seperti itu jarang karena sensor internal untuk menjaga citra otonomi.
POMEPS pada 2022 menganalisis bahwa data sosial media dari Suriah memberikan ilusi informasi lengkap, tapi sebenarnya terdistorsi oleh dinamika konflik, seperti perubahan kontrol teritorial yang memengaruhi postingan. Di wilayah SDF, aktivitas Twitter turun drastis selama pertempuran, dan pengguna menghindari topik sengketa properti untuk tidak menarik perhatian musuh. Taylor & Francis jurnal pada 2014 mencatat jaringan sosial media pejuang asing di Suriah dikendalikan oleh akun anonim atau intelijen global, tapi untuk warga sipil SDF, ini berarti risiko tinggi jika memposting kasus hukum.
BBC pada 2022 juga melaporkan bahwa TikTok mengambil hingga 70% dari donasi livestream di kamp Suriah, tapi di SDF, platform ini kurang populer karena blokir dan kurangnya infrastruktur, membuat akun perorangan jarang muncul. Reddit pada 2023 membahas shadow ban kata "Syria" di TikTok, yang memengaruhi visibilitas konten dari wilayah mana pun, termasuk SDF, di mana pengguna merasa konten mereka tak terlihat secara global. Hal ini diperburuk oleh sanksi AS yang membatasi akses teknologi.
Secara keseluruhan, keterbatasan eksposur ini bukan hanya teknis, tapi juga politik: Turki memengaruhi narasi anti-SDF di media sosial, sementara SDF sendiri juga mendorong narasi anti-Turki dan pro PKK serta membatasi informasi yang anti-SDF.
House of Commons Library pada September 2025 mencatat bahwa meskipun Turki mendorong repatriasi pengungsi Suriah, wilayah SDF tetap sensitif karena negosiasi normalisasi dengan Assad gagal sebelumnya begitu juga dengan pemerintahan baru. Kasus hukum di sana, seperti penggusuran Kurdi dan Arab jarang diliput karena kurangnya akses, tapi potensial memicu ketegangan etnis jika tidak ditangani.
Integrasi SDF ke pemerintahan pusat pada Maret 2025, seperti dilaporkan oleh Washington Institute, diharapkan menyelesaikan sengketa properti melalui kerangka nasional, tapi tantangan tetap ada karena perbedaan visi federalisme. Pengungsi Kurdi yang stateless, yang kehilangan kewarganegaraan sejak sensus 1962, menghadapi hambatan tambahan di pengadilan, di mana bukti kepemilikan sulit diverifikasi, tapi mereka dominan di SDF. NRC pada 2022 menyoroti bahwa statelessness di kalangan pengungsi Suriah di Kurdistan Irak mereplikasi masalah di SDF, di mana anak-anak tak punya dokumen untuk klaim properti.
The National pada Agustus 2025 melaporkan rencana militer Suriah untuk merebut provinsi SDF jika tak kooperatif, yang bisa memperburuk sengketa tanah di Raqqa dan Deir ez-Zor, di mana suku Arab yang selama ini didiskriminasi SDF punya keinginan untuk mendapat hak miliknya kembali.
Namun, kesepakatan Maret menjamin hak Kurdi sebagai bagian integral negara, berpotensi meredakan kasus hukum jika diimplementasikan. Sayangnya, eksposur media rendah membuat isu ini kurang mendapat perhatian internasional, berbeda dengan sengketa di wilayah Damaskus.
DW pada Desember 2024 membahas pertempuran di wilayah Kurdi, di mana SDF kehilangan tanah, memaksa pengungsi potensial ragu kembali karena takut kehilangan properti lagi. NPR pada Desember 2024 menekankan ketidakpastian masa depan SDF pasca-Assad, yang membuat sosial media jarang digunakan untuk diskusi hukum, karena pengguna takut identitas terungkap. CFR timeline pada 2022 (diperbarui 2025) mencatat perjuangan Kurdi melawan statelessness, yang kini terintegrasi ke perjanjian baru, tapi implementasi lambat.
Arab Center pada Juli 2025 menggambarkan bagaimana Kurdi SDF berusaha bermanuver di realitas baru, dengan kekhawatiran atas otonomi yang dipertanyakan, termasuk sengketa properti yang tak terekspos. Wikipedia pada September 2025 menyatakan SDF menguasai 25% wilayah Suriah, tapi populasi Kurdi stateless tumbuh menjadi 200.000, memperumit klaim hukum. Stateless Journeys pada 2019 (diperbarui) menyerukan dukungan Eropa untuk pengungsi stateless, tapi di SDF, isu ini tetap tersembunyi.
Akhirnya, meskipun kasus serupa ada di wilayah SDF, rendahnya eksposur media sosial disebabkan oleh kombinasi sensor warisan Assad, blokir platform, dan risiko keamanan. Dengan 1,8 juta pengungsi kembali secara keseluruhan menurut IOM pada Juni 2025, pemerintah transisi harus prioritaskan resolusi sengketa untuk stabilitas. Harapannya, integrasi SDF akan membawa transparansi lebih, meskipun tantangan tetap mengintai di tengah dinamika regional yang kompleks.
0 Response
Posting Komentar