-->

Suku Suriah: Dari Tradisi ke Kekuatan Politik

Suku Suriah: Dari Tradisi ke Kekuatan Politik
Share
Di tengah gejolak konflik Suriah yang berkepanjangan, peran suku-suku tradisional di negara ini telah mengalami transformasi dramatis. Dahulu dikenal sebagai perekat sosial di wilayah pedesaan dan Badui, kini suku-suku seperti Al-Akydat dan Al-Bakara menjadi aktor politik dan militer yang signifikan, khusunya setelah menguatnya posisi Suku Kurdi, Suryani, Druze (meski Arab tapi punya aliran keagamaan sendiri), Alawite dll.

Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam, melainkan melalui proses panjang yang dipicu oleh dinamika sejarah, politik, dan perang saudara yang telah menghancurkan tatanan negara sejak 2011. Video analisis terbaru yang dirilis di platform YouTube berjudul “العشائر في سوريا” mengupas fenomena ini secara mendalam, menggambarkan bagaimana tribalisme berevolusi dari kerangka sosial menjadi kekuatan yang memengaruhi nasib bangsa.

Suku-suku di Suriah, terutama di wilayah timur seperti Deir ez-Zor, Raqqa, dan Hasakah, memiliki akar sejarah yang kuat. Mereka bukan sekadar kelompok etnis, tetapi komunitas yang mengatur kehidupan sosial melalui tradisi seperti majelis damai untuk menyelesaikan sengketa. Struktur ini memberikan rasa identitas dan perlindungan bagi anggotanya, terutama di tengah lingkungan yang keras seperti padang pasir. Para pemimpin suku, atau shiekh, memainkan peran sentral dalam menjaga harmoni internal, menjadikan suku sebagai pilar utama kehidupan masyarakat pedesaan Suriah.

Namun, peran suku mulai bergeser sejak era kolonial Prancis pada 1920-an, bahkan era Inggris yang mengompori warga Arab melawan Ottoman. Pemerintah mandat Prancis memanfaatkan suku-suku untuk memperkuat kendali atas wilayah Suriah yang beragam. Dengan memberikan hak istimewa kepada para shiekh, Prancis menjadikan suku sebagai sekutu politik, sebuah pola yang kemudian dilanjutkan oleh rezim Ba’ath di bawah Hafez al-Assad. Rezim ini menggunakan pendekatan serupa, menawarkan posisi di parlemen, amnesti, dan akses ke sumber daya ekonomi untuk memastikan loyalitas suku-suku tertentu.

Kedatangan Bashar al-Assad sebagai penerus Hafez memperdalam hubungan simbiosis ini. Suku-suku, yang awalnya berfungsi sebagai wadah sosial, mulai ditarik ke dalam jaringan kekuasaan rezim. Para shiekh diberi keuntungan seperti kuota perdagangan atau bantuan luar negeri, tetapi dengan imbalan: mereka harus mendukung agenda politik Damaskus. Dalam beberapa kasus, suku-suku dimanfaatkan untuk menekan oposisi, dengan narasi bahwa keluar dari suku berarti kehilangan kehormatan. Hal ini mengikat pemuda suku ke dalam milisi pro-pemerintah, mengubah identitas sosial mereka menjadi alat politik.

Perang sipil Suriah yang meletus pada 2011 menjadi titik balik bagi peran suku. Ketika otoritas negara pusat melemah, suku-suku mengisi kekosongan kekuasaan. Beberapa suku memilih mendukung rezim Assad, sementara yang lain bergabung dengan faksi oposisi seperti Jaysh al-Thuwar, suku Kurdi mendukung pemerintah dan oposisi serta AS dkk. Di wilayah seperti Idlib, suku-suku menjadi pendukung sosial bagi kelompok-kelompok oposisi, meskipun tidak selalu membentuk pasukan militer terorganisir. Transformasi ini menunjukkan fleksibilitas suku dalam menavigasi kekacauan perang.

Di wilayah timur laut Suriah, suku-suku menghadapi tantangan baru dengan kehadiran pasukan SDF yang didominasi Kurdi dukungan AS dkk. Banyak suku menolak kebijakan SDF, seperti wajib militer, perekrutan anak di bawah umur, dan monopoli sumber daya minyak. Ketegangan ini memuncak pada 2024 dalam apa yang disebut “Revolusi Suku Arab,” di mana suku-suku memprotes pemilu lokal di wilayah otonom Kurdi, menegaskan bahwa mereka adalah bagian integral dari rakyat Suriah, bukan alat politik SDF. Ini menjadi ulangan 'Arab Revolt' yang dulu melawan Ottoman.

Konflik di Suwayda, wilayah yang dikuasai komunitas Druze, juga mencerminkan peran baru suku sebagai aktor militer. Pada 2024, suku-suku Arab seperti Al-Ukaidat terlibat dalam bentrokan berdarah dengan faksi Druze. Mereka menyerukan perlindungan terhadap “saudara Badui” dan menuntut pemerintah pusat untuk tidak ikut campur. Peristiwa ini menandai pergeseran besar, di mana suku tidak lagi hanya bertindak sebagai pendukung, tetapi sebagai kekuatan independen yang mampu mengubah dinamika konflik lokal, khususnya saat hak ulayat Suku Arab diusik oleh pihak lain.

Pengaruh kekuatan asing turut memperumit peran suku. Negara-negara seperti Iran, Turki, dan Amerika Serikat telah memanfaatkan suku-suku untuk kepentingan strategis mereka. Iran, misalnya, mendukung milisi suku yang loyal kepada Assad, sementara Turki bekerja dengan suku-suku di utara, seperti Turkmen untuk melawan pengaruh Kurdi. Amerika Serikat, melalui dukungan kepada SDF, secara tidak langsung memengaruhi hubungan dengan suku-suku di timur laut, yang sering kali merasa terpinggirkan oleh kebijakan Kurdi.

Para shiekh (syeikh/tetua adat) suku kini berada di persimpangan yang sulit. Di satu sisi, mereka tetap menjadi mediator antara komunitas lokal dan kekuatan bersenjata, baik itu rezim, oposisi, atau aktor asing. Di sisi lain, mereka harus menjaga legitimasi di mata anggota suku, yang semakin kritis terhadap korupsi dan eksploitasi. Banyak shiekh yang awalnya dihormati kini dianggap sebagai alat kekuasaan, melemahkan otoritas tradisional mereka.

Perang telah mengubah suku dari entitas sosial menjadi aktor politik-militer yang kompleks. Di beberapa wilayah, suku bahkan membentuk milisi sendiri untuk melindungi kepentingan lokal, seperti mengamankan sumber daya atau mempertahankan identitas budaya. Namun, ini juga menimbulkan risiko: suku-suku bisa menjadi ancaman bagi gagasan negara nasional jika pemerintah pusat gagal membangun kembali otoritasnya setelah perang.

Video analisis ini menyoroti bagaimana suku-suku di Suriah tidak lagi sekadar kelompok tradisional, tetapi telah menjadi kekuatan yang menentukan arah konflik. Dengan narasi yang didukung wawancara ahli dan visualisasi seperti peta, video tersebut menggambarkan dinamika yang kompleks ini dengan jelas. Penonton diajak untuk memahami bagaimana perang telah memaksa suku beradaptasi, sering kali dengan biaya besar bagi kohesi sosial.

Peran suku di Suriah juga mencerminkan tantangan yang lebih luas di Timur Tengah, di mana struktur tradisional bertabrakan dengan realitas politik modern. Di Suriah, suku-suku telah menunjukkan kemampuan untuk bertahan dan bahkan berkembang di tengah kekacauan. Namun, kemampuan mereka untuk berpindah sisi—antara rezim, oposisi, atau aktor asing—membuat mereka menjadi pedang bermata dua.

Salah satu contoh nyata adalah peristiwa di timur laut Suriah, di mana suku-suku menolak kurikulum pendidikan yang diterapkan SDF dan lembaga eksekutifnya karena dianggap mengabaikan identitas Arab, karena memaksa warga Arab belajar bahasa Kurdi. Penolakan ini bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga tentang mempertahankan otonomi budaya dan politik. Suku-suku menegaskan bahwa mereka tidak ingin menjadi pion dalam proyek federalisme Kurdi, melainkan bagian dari Suriah yang bersatu.

Di sisi lain, di wilayah seperti Idlib, suku-suku berperan sebagai pendukung sosial bagi pengungsi dan oposisi di era Assad. Meskipun tidak selalu terlibat langsung dalam pertempuran, kehadiran mereka memberikan legitimasi kepada kelompok-kelompok ini. Ini menunjukkan bagaimana suku dapat memengaruhi dinamika kekuasaan tanpa harus mengangkat senjata.

Namun, transformasi suku juga membawa konsekuensi negatif. Di beberapa wilayah, persaingan antar-suku telah memperburuk perpecahan sektarian, seperti antara Arab dan Druze di Suwayda. Konflik ini tidak hanya tentang sumber daya, tetapi juga tentang identitas dan klaim atas wilayah. Jika tidak dikelola dengan baik, ketegangan ini bisa memperpanjang konflik di Suriah. Di bidang politik, kelompok Druze mendapat kursi di kabinet, sementara Suku Arab yang besar bahkan lebih banyak populasinya dari Druze tidak mendapat kursi. Begitu juga suku Kristen yang jumlahnya sangat sedikit malah sapat satu kursi di kabinet Presiden Ahmed Al Sharaa yang baru.

Video ini juga mengajukan pertanyaan kritis: apakah suku-suku bisa menjadi bagian dari solusi untuk masa depan Suriah? Dalam skenario terbaik, suku dapat berperan sebagai jembatan untuk rekonsiliasi nasional, menggunakan pengaruh sosial mereka untuk memediasi konflik. Namun, dalam skenario terburuk, mereka bisa memperdalam fragmentasi, terutama jika terus dimanfaatkan oleh aktor eksternal, seperti dukungan milisi Druze Al Hajri di Suwaida atas proyek neokolonialisme Greater Israel yang diwacanakan Tel Aviv dengan imbalan perlindungan untuk mendirikan negara mini 'Jabal Druze'.

Tantangan terbesar bagi suku-suku adalah bagaimana menjaga identitas mereka di tengah tekanan politik dan militer. Banyak anggota suku, terutama generasi muda, mulai mempertanyakan sebagian otoritas shiekh yang dianggap kurang perduli dengan kemakmuran warganya. Ini menciptakan ketegangan internal yang dapat melemahkan kohesi suku di masa depan.

Di sisi lain, pemerintah Suriah—jika mampu pulih pasca-perang—harus menemukan cara untuk mengintegrasikan suku-suku ke dalam kerangka negara tanpa mengulang kesalahan masa lalu. Pendekatan represif atau manipulatif seperti yang dilakukan rezim Assad sebelumnya hanya akan memperburuk ketegangan. Dialog yang inklusif dan pengakuan atas peran suku sebagai mitra sosial bisa menjadi kunci.

Video ini menutup analisisnya dengan nada reflektif, mengingatkan bahwa suku-suku di Suriah adalah cerminan dari ketahanan dan kompleksitas masyarakat di tengah perang. Mereka bukan hanya relik masa lalu, tetapi aktor dinamis yang terus membentuk masa depan negara. Dengan durasi yang cukup panjang dan narasi yang kaya data, video ini berhasil memberikan gambaran menyeluruh tentang fenomena tribalisme di Suriah.

Sebagai penutup, transformasi suku di Suriah adalah cerminan dari bagaimana perang dapat mengubah struktur sosial secara mendalam. Dari perekat komunitas menjadi kekuatan politik-militer, suku-suku telah menunjukkan kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi. Namun, tanpa arah yang jelas, mereka juga bisa menjadi sumber instabilitas baru. Video ini tidak hanya memberikan wawasan tentang Suriah, tetapi juga pelajaran berharga tentang bagaimana tradisi dan modernitas bertabrakan di tengah konflik.

0 Response

Posting Komentar

More

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel