Kesultanan Delhi adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri di India utara pada awal abad ke-13, tepatnya sekitar tahun 1206, setelah invasi Muslim ke India bagian utara oleh Qutb al-Din Aibak. Kesultanan ini merupakan penguasa penting di subkontinen India dan bertahan hingga abad ke-16 sebelum akhirnya digantikan oleh Kekaisaran Mughal. Sepanjang sejarahnya, Kesultanan Delhi mengalami beberapa dinasti yang berkuasa, termasuk Mamluk, Khalji, Tughluq, Sayyid, dan Lodi.
Dinasti Mamluk (1206–1290) merupakan yang pertama, dengan Qutb al-Din Aibak sebagai penguasa pertama. Ia dikenal sebagai panglima militer dari Afganistan yang awalnya bekerja untuk Muhammad Ghori. Pada masa ini, Islam mulai kuat menyebar di wilayah India utara, termasuk pendirian masjid-masjid dan lembaga pendidikan Islam. Dinasti Khalji (1290–1320) melanjutkan ekspansi wilayah Kesultanan Delhi ke bagian barat dan selatan India. Salah satu penguasa terkenal adalah Ala-ud-Din Khalji yang memperluas kekuasaan hingga ke Gujarat dan Deccan.
Dinasti Tughluq (1320–1413) terkenal karena kebijakan administrasi yang ambisius, termasuk proyek pembangunan infrastruktur, pengembangan ekonomi, dan reformasi pajak. Muhammad bin Tughluq dikenal dengan ide-idenya yang radikal, termasuk pemindahan ibu kota dari Delhi ke Daulatabad dan proyek-proyek besar yang menimbulkan kontroversi. Firuz Shah Tughluq, penguasa selanjutnya, juga memperkuat hubungan diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara Muslim lainnya.
Hubungan Kesultanan Delhi dengan Nusantara muncul melalui jalur perdagangan dan dakwah Islam. Para pedagang Muslim dari Gujarat, Malabar, dan wilayah lain yang berada di bawah pengaruh Kesultanan Delhi melakukan perjalanan ke Sumatera, Jawa, dan kepulauan Melayu. Mereka membawa tidak hanya barang dagangan, tetapi juga pengetahuan Islam, hukum, dan budaya. Teks sejarah menyebut bahwa beberapa ulama dan pedagang India ikut berperan dalam penyebaran Islam di Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa.
Selain itu, Kesultanan Delhi memiliki kontak politik dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Misalnya, beberapa kronik Nusantara menyebut adanya pengiriman utusan dan hadiah dari Delhi kepada penguasa lokal, serta pertukaran diplomatik untuk memperkuat hubungan dagang dan politik. Hal ini terlihat dari catatan perjalanan Ibn Battuta yang menyebutkan adanya kesan pengaruh Delhi di kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa. Dengan demikian, Kesultanan Delhi tidak hanya menjadi kekuatan politik di India, tetapi juga menjadi bagian penting dari jaringan Islam transnasional yang mencakup Nusantara.
Pada era Samudera Pasai, di Mandailing, Sumatera Utara terdapat Kerajaan Pidolo yang diyakini berasal dari kata Piu Delhi. Kemungkinan terkait Kesultanan Delhi ini.
Kesultanan Delhi dan Pengaruhnya di Nusantara
Kesultanan Delhi merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di India utara yang berdiri pada awal abad ke-13, tepatnya tahun 1206. Kesultanan ini lahir setelah invasi Muhammad Ghori ke wilayah India bagian utara, yang kemudian diikuti oleh penguasa-penguasa lokal yang menguasai Delhi dan sekitarnya. Pendirian Kesultanan Delhi menandai babak baru dalam sejarah Islam di subkontinen India, dengan penekanan pada pemerintahan Islam, hukum, dan administrasi.
Dinasti pertama Kesultanan Delhi adalah Mamluk, yang dikenal juga sebagai dinasti budak, dengan Qutb al-Din Aibak sebagai penguasa pertamanya. Aibak, mantan panglima militer Ghori, memanfaatkan kekuatan militernya untuk menegakkan kekuasaan Islam. Selama masa ini, pembangunan masjid dan lembaga pendidikan Islam mulai berkembang di wilayah Delhi dan sekitarnya, menjadi fondasi budaya Islam yang kuat.
Setelah Mamluk, Kesultanan Delhi diteruskan oleh dinasti Khalji (1290–1320), yang terkenal dengan ekspansi wilayahnya ke selatan India. Ala-ud-Din Khalji menegakkan kekuasaan dengan reformasi militer dan ekonomi yang ambisius. Dinasti ini memperluas pengaruh Delhi hingga Gujarat dan wilayah Deccan, menciptakan jaringan perdagangan dan diplomasi yang luas di India utara dan barat.
Selanjutnya, dinasti Tughluq (1320–1413) memimpin Kesultanan Delhi dengan kebijakan administrasi yang inovatif namun kontroversial. Muhammad bin Tughluq dikenal dengan proyek-proyek besar seperti pemindahan ibu kota ke Daulatabad dan pembangunan infrastruktur luas. Sementara itu, Firuz Shah Tughluq memperkuat hubungan diplomatik dan perdagangan dengan berbagai kerajaan Muslim lainnya, termasuk wilayah Nusantara.
Hubungan Kesultanan Delhi dengan Nusantara muncul terutama melalui perdagangan dan dakwah Islam. Para pedagang Muslim dari Gujarat, Malabar, dan wilayah India utara membawa barang dagangan, ilmu agama, serta praktik budaya Islam ke Sumatera, Jawa, dan kepulauan Melayu. Pedagang ini menjadi agen penyebaran Islam, terutama di Aceh, Sumatera Barat, dan pesisir utara Jawa.
Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa ulama dan pedagang India yang berafiliasi dengan Kesultanan Delhi ikut berperan penting dalam mendirikan masjid, madrasah, dan institusi keagamaan di Nusantara. Mereka membantu memperkuat struktur sosial dan keagamaan masyarakat Muslim lokal, sekaligus menghubungkan Nusantara dengan jaringan Islam transnasional.
Selain perdagangan dan dakwah, Kesultanan Delhi juga melakukan kontak politik dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pengiriman utusan dan hadiah dari Delhi ke penguasa lokal menunjukkan adanya upaya diplomasi untuk memperkuat hubungan dagang dan politik. Pertukaran ini memperlihatkan bahwa Delhi memiliki pengaruh tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga simbolik dalam legitimasi kekuasaan.
Catatan perjalanan Ibn Battuta, yang singgah di beberapa kerajaan di Sumatera dan Jawa, menyebutkan adanya kesan pengaruh Kesultanan Delhi dalam hal administrasi, hukum, dan budaya. Hal ini memperlihatkan bahwa Nusantara bukan sekadar tujuan perdagangan, tetapi juga bagian dari jaringan intelektual dan politik dunia Islam.
Kesultanan Delhi juga mendorong migrasi ulama, pedagang, dan tenaga administrasi ke wilayah Nusantara. Migrasi ini menciptakan komunitas Muslim yang terhubung secara kultural dan ekonomi dengan India utara, membentuk pondasi bagi kerajaan Islam lokal di Aceh, Maluku, dan Jawa.
Pembangunan masjid dan madrasah di Nusantara kerap mendapat dukungan finansial dari para pedagang India, yang menganggapnya sebagai perwujudan solidaritas Muslim. Dukungan ini mencerminkan tradisi wakaf dan sumbangan kolektif yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Muslim di India dan Nusantara.
Pada masa dinasti Tughluq, kontak dengan Nusantara semakin intens melalui jalur perdagangan laut. Para pedagang India membawa rempah-rempah, kain, dan barang dagangan lainnya ke Sumatera, Jawa, dan kepulauan sekitarnya. Dalam perjalanan ini, praktik administrasi dan hukum Islam dari Delhi juga diperkenalkan kepada penguasa lokal.
Kesultanan Delhi menjadi model bagi beberapa kerajaan Muslim di Nusantara dalam hal pemerintahan dan hukum. Beberapa sultan di Aceh dan Maluku meniru struktur birokrasi, pajak, dan regulasi perdagangan yang diterapkan di Delhi untuk memperkuat stabilitas wilayah mereka.
Pengaruh Kesultanan Delhi juga terlihat dalam budaya intelektual. Buku-buku dan manuskrip dari Delhi dibawa ke Nusantara, memperkaya khazanah literasi Islam lokal. Ilmu fiqh, sejarah, dan sastra dari India utara berkontribusi pada pendidikan di pesantren dan madrasah Nusantara.
Kerajaan-kerajaan di Nusantara, khususnya Samudra Pasai, memanfaatkan hubungan ini untuk mendapatkan legitimasi internasional. Hubungan dengan Kesultanan Delhi memberi mereka pengakuan dari pusat Islam di Asia, sekaligus membuka peluang perdagangan dan aliansi politik.
Di sisi lain, pedagang dan ulama India yang menetap di Nusantara turut memperkuat komunitas Muslim lokal. Kehadiran mereka menciptakan jaringan sosial yang memungkinkan transfer pengetahuan, modal, dan praktik budaya yang erat dengan tradisi Delhi.
Solidaritas ini juga terlihat dalam penggalangan dana untuk pembangunan masjid dan lembaga keagamaan. Tradisi ini kemudian menjadi bagian dari praktik crowdfund Islam yang terkenal di Nusantara, seperti dukungan Aceh untuk Masjidil Haram dan jalur Kereta Hijaz.
Kesultanan Delhi dan Nusantara terhubung tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga politik dan budaya. Jalur perdagangan laut menjadi media pertukaran barang, ide, dan agama yang membentuk identitas Islam regional.
Selain Aceh dan Sumatera, Jawa juga menerima pengaruh Delhi melalui pedagang Gujarat dan Malabar yang sering singgah di pelabuhan utara Jawa. Mereka membawa pengetahuan Islam, sistem administrasi, dan praktik perdagangan yang meniru model Delhi.
Hubungan ini menegaskan bahwa Nusantara bukan wilayah terisolasi, melainkan bagian dari jaringan global Islam yang menghubungkan India, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Kesultanan Delhi menjadi salah satu penghubung utama dalam jaringan tersebut.
Pengaruh Kesultanan Delhi tetap terlihat dalam budaya hukum dan pemerintahan beberapa kerajaan Islam di Nusantara hingga abad ke-16. Struktur birokrasi, sistem pajak, dan pendidikan agama banyak meniru model Delhi, menunjukkan jejak sejarah yang kuat.
Dengan demikian, Kesultanan Delhi bukan hanya kekuatan politik di India utara, tetapi juga agen penyebaran Islam, budaya, dan perdagangan di Nusantara. Hubungan ini memperlihatkan sejarah panjang interaksi antara Asia Selatan dan Asia Tenggara yang membentuk fondasi Islam di Nusantara hingga kini.
Akhir Kesultanan Deli
Runtuhnya Kesultanan Delhi terjadi secara bertahap pada abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Setelah melewati masa dinasti Sayyid dan Lodi, Kesultanan Delhi melemah akibat perang internal, konflik suksesi, dan serangan dari luar, termasuk invasi Babur yang mendirikan Kekaisaran Mughal pada 1526. Kelemahan militer dan birokrasi Kesultanan Delhi membuat wilayah utara India terbuka bagi penguasa baru yang lebih terorganisir dan berdaya militer tinggi.
Kekaisaran Mughal, sebagai pengganti Kesultanan Delhi, membawa stabilitas politik dan administrasi yang lebih kuat di India utara. Mughal memperluas jaringan perdagangan dan diplomasi, termasuk dengan wilayah Nusantara. Pengaruh Mughal tidak langsung hanya melalui perdagangan, tetapi juga melalui ulama, pedagang, dan diplomasi yang membawa praktik hukum, budaya, dan agama Islam ke kerajaan-kerajaan lokal di Sumatera, Jawa, dan Maluku.
Sejak masa Babur hingga Akbar, hubungan perdagangan antara India utara dan Nusantara semakin intensif. Pedagang dari Gujarat, Malabar, dan Bengal, yang berada di bawah pengaruh Mughal, tetap menjadi penghubung penting bagi ekspor rempah-rempah Nusantara. Mereka membawa modal, ilmu, dan praktik administrasi Islam yang diadopsi oleh kerajaan lokal seperti Aceh, Samudra Pasai, dan Kesultanan Ternate.
Selain perdagangan, Mughal juga berperan dalam memperkuat jaringan diplomatik Islam di Nusantara. Utusan dan hadiah dari kekaisaran dikirim untuk membina hubungan dengan penguasa lokal, memberikan legitimasi politik dan dukungan simbolik. Hal ini melanjutkan tradisi Kesultanan Delhi dalam membangun hubungan transnasional antara Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Dengan runtuhnya Kesultanan Delhi, Nusantara tidak kehilangan pengaruh India, tetapi transisinya berlanjut melalui Kekaisaran Mughal. Pengaruh ini tetap terlihat dalam sistem administrasi kerajaan, pendidikan Islam, dan budaya perdagangan yang menghubungkan pedagang, ulama, dan penguasa Nusantara dengan pusat Islam di India, menciptakan kontinuitas sejarah dan jaringan transnasional Islam hingga abad-abad berikutnya.
Awal mula
Islam pertama kali masuk ke India sekitar abad ke-7 melalui pedagang Arab dan Persia yang datang ke pesisir barat India, khususnya Gujarat dan Malabar. Kedatangan ini bersamaan dengan perkembangan perdagangan rempah-rempah dan hubungan maritim antara India dan Timur Tengah. Pedagang Muslim membawa tidak hanya barang dagangan, tetapi juga ajaran Islam, yang perlahan tersebar melalui komunitas perdagangan dan pendirian masjid serta pusat-pusat pendidikan Islam di wilayah pesisir.
Sebelum berdirinya Kesultanan Delhi pada awal abad ke-13, telah muncul beberapa kerajaan Islam lokal di India utara dan barat. Contohnya adalah Kerajaan Ghaznavid yang menguasai wilayah Punjab pada abad ke-11 dan ke-12, serta Kerajaan Ghurid yang menaklukkan sebagian India utara menjelang akhir abad ke-12. Kerajaan-kerajaan ini menjadi cikal bakal pemerintahan Islam di India dan membuka jalan bagi pendirian Kesultanan Delhi yang lebih terpusat dan berkelanjutan.
0 Response
Posting Komentar