-->

Suhu Politik Suwaida Mereda, Dialog Baru Dimulai

Suhu Politik Suwaida Mereda, Dialog Baru Dimulai
Share
Ketegangan yang sejak akhir tahun lalu terus membayangi Provinsi Suwaida, Suriah, mulai menunjukkan titik terang. Kembalinya Mustafa al-Bakour ke kursi Gubernur Suwaida setelah sempat mundur menjadi sinyal positif bahwa jalur dialog antara pemerintah pusat Damaskus dan komponen masyarakat Suwaida kembali terbuka. Kehadirannya disambut hangat oleh tokoh-tokoh lokal, termasuk para ulama Druze, yang selama ini memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan sosial dan politik di wilayah tersebut.

Mustafa al-Bakour sebelumnya sempat meninggalkan posisinya usai insiden dramatis pada Mei lalu. Saat itu sekelompok warga bersenjata menyerbu kantor gubernur, mengancam nyawanya, dan memaksanya mundur. Peristiwa tersebut terjadi di tengah memuncaknya ketegangan antara pemerintah dan kelompok-kelompok bersenjata di Suwaida yang menolak berbagai kesepakatan damai terkait hubungan dengan Damaskus.

Kembalinya al-Bakour ke Suwaida pada Selasa lalu tak hanya sekadar seremonial. Ia datang bersama rombongan pejabat tinggi, termasuk Menteri Pendidikan dan Wakil Menteri Dalam Negeri. Kehadiran pejabat-pejabat ini menjadi isyarat kuat bahwa pemerintah Suriah ingin merajut kembali hubungan yang sempat retak dengan provinsi yang didominasi warga Druze tersebut.

Di hari yang sama, al-Bakour langsung terjun meninjau beberapa lokasi ujian nasional dan fasilitas publik. Ia berusaha menunjukkan komitmen penuh untuk mengembalikan stabilitas dan pelayanan kepada warga, di tengah situasi keamanan yang belum sepenuhnya kondusif. Kehadirannya di sejumlah fasilitas pendidikan disambut positif oleh masyarakat lokal.

Sebelumnya, al-Bakour juga melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh agama penting, termasuk mengunjungi Sheikh Hammoud al-Hannawi di rumah sakit. Pertemuan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya merangkul kembali seluruh elemen masyarakat, khususnya komunitas Druze yang selama ini memiliki peran sentral dalam dinamika Suwaida.

Sementara itu, dari sisi lain, sebuah inisiatif politik besar tengah digagas. Pada Selasa mendatang dijadwalkan berlangsung Konferensi Umum Suwaida untuk Suriah yang Satu dan Bersatu. Konferensi ini digagas oleh sejumlah diaspora Suwaida di Eropa dan Amerika, didukung tokoh-tokoh lokal di dalam negeri. Sekitar 120 undangan telah disebar ke berbagai kalangan, termasuk pemuka agama, akademisi, dan tokoh masyarakat.

Konferensi ini menjadi upaya strategis untuk mengakhiri kebuntuan politik di Suwaida yang sejak Desember lalu terus memburuk akibat ketegangan antara pemerintah pusat dan kelompok-kelompok bersenjata lokal. Agenda utama konferensi adalah menyatukan visi seluruh komponen masyarakat Suwaida, lalu membentuk sebuah Sekretariat Umum yang bertugas bernegosiasi dan berkoordinasi dengan pemerintah Damaskus.

Firas al-Isami, koordinator umum konferensi, menyatakan bahwa hampir seluruh komponen politik, sosial, agama, dan sipil di Suwaida telah menyatakan kesediaannya untuk hadir. Ia menegaskan bahwa tidak ada perpecahan di provinsi itu, yang ada hanyalah perbedaan cara pandang terkait implementasi berbagai inisiatif damai yang sebelumnya sempat disepakati.

Al-Isami menambahkan bahwa warga Suwaida tidak menuntut hal di luar kewajaran. Mereka hanya berharap pemerintah bisa menjalankan fungsinya secara adil, mengayomi seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Ia berharap hasil konferensi nanti dapat menjadi dasar bagi hubungan yang lebih sehat dan saling menghormati antara Suwaida dan pemerintah pusat.

Selain itu, hasil konferensi ini juga akan menentukan arah langkah ke depan, termasuk mekanisme penyelesaian isu-isu keamanan yang masih menghantui wilayah tersebut. Termasuk soal senjata liar yang selama ini kerap menjadi sumber kekacauan dan ketegangan di Suwaida.

Ketegangan di Suwaida sendiri sempat memuncak awal Mei lalu ketika sejumlah insiden berdarah terjadi di wilayah sekitar Damaskus yang dihuni mayoritas warga Druze. Peristiwa itu kemudian menjalar ke pedesaan Suwaida, dipicu oleh beredarnya video yang dianggap menghina Islam, memicu demonstrasi dan aksi kekerasan.

Peristiwa paling mencolok terjadi saat sekelompok pemuda menyerbu gedung pemerintah provinsi, memaksa gubernur mundur, dan menciptakan kekacauan di tengah kota. Situasi ini mendorong sejumlah pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk mencari jalan damai guna meredakan situasi.

Pemerintah Suriah sendiri tampaknya mulai menyadari pentingnya merangkul kembali Suwaida. Hal itu terlihat dari langkah cepat mengembalikan al-Bakour ke posisinya serta memberikan dukungan simbolik lewat kunjungan pejabat tinggi negara ke wilayah tersebut.

Banyak kalangan menilai, bila konferensi mendatang sukses dan menghasilkan konsensus yang solid, maka pola ini bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lain di Suriah yang mengalami ketegangan serupa. Terlebih sejumlah wilayah minoritas di Suriah juga selama ini menyimpan kerikil tajam dalam hubungannya dengan Damaskus.

Para pengamat politik regional menilai, stabilitas Suwaida sangat penting bagi konsolidasi Suriah pasca-konflik. Selain sebagai simbol pluralisme agama dan budaya, provinsi ini juga strategis secara geopolitik karena berada di jalur perbatasan dengan Yordania dan dekat dengan Dataran Tinggi Golan.

Kini harapan tertuju pada konferensi tersebut. Banyak pihak berharap hasilnya bukan hanya berhenti di tataran seremonial, melainkan mampu menghadirkan formula politik baru yang adil, mengakomodasi keragaman, dan mengembalikan keamanan di Suwaida.

Dengan kehadiran al-Bakour kembali di kantor gubernur dan persiapan konferensi yang matang, atmosfer politik di Suwaida perlahan mulai mencair. Semua pihak kini menanti apakah momentum ini bisa benar-benar dimanfaatkan untuk membuka babak baru dalam relasi antara Suwaida dan pemerintah pusat Suriah.

0 Response

Posting Komentar

More

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel